Sumber gambar : www.iea.org
ARTICLE
Penulis: Muhamad Rosyid Jazuli, Pemerhati kebijakan publik, Kandidat Doktor di University College London
Akhir tahun 2022 lalu, Indonesia menyepakati sebuah komitmen politik ‘hijau’ bertajuk Kerja Sama Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP Indonesia). Disetujui selama pagelaran G20 Bali, JETP ini menjanjikan skema pendanaan hijau untuk mendorong agenda pembangunan rendah karbon di dalam negeri. Meski panen pujian, komitmen ini tak lepas dari berbagai tantangan.
Lembaga riset terkemuka untuk isu-isu energi, International Energy Agency (IEA) mendapuk JETP Indonesia sebagai “tonggak penting dalam era baru kerja sama iklim internasional” (16/11/22). Apresiasi juga datang dari Perdana Menteri Britania Raya Rishi Sunak. Dalam pidatonya akhir tahun lalu di Parlemen Inggris (17/11/22), PM Inggris berdarah Asia ini mengapresiasi G20 dan JETP Indonesia yang hadir di tengah “krisis ekonomi global terburuk sejak 2008.”
JETP tersebut pada dasarnya adalah komitmen politik antara Indonesia dengan Kelompok Mitra Antarnegara atau International Partners Group (IPG). Dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang, IPG beranggotakan negara-negara ekonomi maju, yakni Inggris, Jerman, Prancis, Uni Eropa, Kanada, Italia, Norwegia, dan Denmark (Gov.uk, 15/12/22).
Janjinya, dalam 3-5 tahun ke depan, JETP Indonesia akan memobilisasi dana sekitar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp 300-an triliun). Target utamanya, mengurangi ketergantungan Indonesia pada sumber energi tak terbarukan, khususnya batu bara. Terlepas dari besarnya potensi sokongan pendanaan tersebut, berbagai pihak, termasuk beberapa media nasional, seperti TEMPO, mewanti-wanti soal berbagai tantangan skema bantuan ini.
Dalam artikel Majalah Tempo, ‘Banjir Dana Ekonomi Hijau’ (20/11/22), jelas tergambar bahwa potensi dana tersebut bukan tanpa ‘S&K berlaku’. Sangat mungkin pendanaan tersebut datang dalam bentuk utang—sebuah skema bantuan pembangunan oleh beberapa ahli, termasuk Profesor Jeffery Sachs dari Columbia University, AS, disebut sebagai bentuk neokolonialisme.
Jika tak hati-hati disikapi dan dikelola nantinya, ‘utang’ hijau ini kemungkinan menambah beban fiskal negara yang telah menjadi perhatian banyak pihak. Karenanya, pemerintah perlu hati-hati dalam menyepakati skema pendanaan ini yang saat ini masih dalam proses perumusan—setidaknya hingga akhir 2023 ini.
Selain itu, dalam konteks regulasi, tantangan pelik lainnya adalah JETP tersebut nyatanya membuat komitmen Indonesia terhadap agenda ekonomi hijau makin menumpuk dan ambivalen. Misalnya, lewat PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, Indonesia telah menargetkan penggunaan energi terbarukan minimum sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
Sayangnya, nyatanya, alih-alih turun, produksi listrik berbasis batu bara di Indonesia terus meningkat, dari nol pada 1971 menjadi 64% dari total penyediaan listrik pada 2020. Realisasi potensi sumber energi terbarukan di Indonesia juga masih seret, baru sekitar 5-8% (IESR Indonesia, 2020).
Dalam Nota Keuangan 2022, bahkan, batu bara masih disebut-sebut sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan. Sepanjang 2021-2022, kenaikan harga batu bara mengganjar Indonesia ‘rejeki nomplok’ (windfall profits). Batu bara pun menyumbang secara signifikan terhadap PDB Indonesia yakni sekitar 5-6%.
Agenda ekonomi rendah karbon, sebagaimana diusung JETP, jelas bertujuan mulia, yakni kemajuan ekonomi (profit) yang tetap memerhatikan keberlanjutan umat manusia (people) dan bumi (planet). Namun, alangkah perlunya, Indonesia tak gagap terhadap agenda hijau global ini.
Hadirnya IPG sebagai mitra utama JETP merefleksikan besarnya pengaruh negara-negara maju dalam agenda ini. Perlu diingat, kemajuan negara-negara ini dulu sumber utama energinya adalah batu bara. Pada masanya, Barat menjadi konsumen batu bara terbesar di dunia. Ditemukannya ladang batu bara di Indonesia kenyataannya juga karena tingginya permintaan dari Barat, khususnya pada masa kolonialisasi.
Pada akhirnya, JETP tetapkan langkah penting bagi Indonesia untuk menciptakan kemajuan ekonomi berkelanjutan (sustainable economy) bagi generasi-generasi selanjutnya. Akan tetapi, kemajuan ekonomi Indonesia memerlukan sokongan energi yang signifikan—sebagaimana di Barat di masa lalu. Hingga saat ini, sayangnya, sumber energi tak terbarukan, khususnya batu bara adalah yang paling bisa dijangkau.
Menyikapi kondisi ini, penting bagi Indonesia untuk mengadopsi skema pembiayaan dan pembangunan hijau secara perlahan dan bertahap. Penggunaan sumber energi tak terbarukan (sayangnya) tetap diperlukan, setidaknya sampai masa tertentu, sembari yang terbarukan terus dikaji dan direalisasikan, khususnya dengan dukungan JETP Indonesia tersebut. (*)
Keterangan:
Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-02-5-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.