ARTICLE
Penulis: Wardatun Nadhiroh, Mahasiswa PhD bidang Teologi dan Keagamaan, University of Birmingham
Kesepian sering kali hanya dianggap sebagai persoalan masing-masing pribadi, namun dari kacamata seorang Silfana Nasri, mahasiswa PhD bidang Sosiologi, University of Surrey, kesepian itu saling berhubungan dengan isu lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis sehingga juga bermuatan politis. Berangkat dari pengalaman pribadi dan sharing dengan sesama mahasiswa internasional ketika menempuh pendidikan di Inggris, Silfana tertarik menjadikan kesepian sebagai fokus penelitian doktoralnya, mengingat kesepian di Inggris telah menjadi semacam epidemi.
Kesepian, terjadi ketika hubungan sosial yang bermakna secara kuantitas dan kualitas dirasa kurang (Hawkey & Cacioppo, 2010). Ini merupakan alarm diri ketika hubungan interpersonal seseorang bermasalah (Cacioppo et al., 2015). Adapun beberapa penyebab muncul kesepian adalah kurangnya hubungan yang bermakna seperti hubungan pertemanan, mengalami transisi kehidupan seperti pindah ke tempat baru, adanya situasi mental seperti kecemasan sosial dan rasa rendah diri, pengalaman hidup yang buruk, serta faktor-faktor sosial budaya seperti ageism, diskriminasi, stigma sosial terhadap kelompok tertentu, yang berkaitan dengan status sosial, kemiskinan, dan norma budaya tertentu (Korzhina et al., 2022).
Isu kesepian ini sangat berhubungan dengan isu-isu lainnya seperti psikologis, sosial, kultur dan ekonomi. Dalam sebuah budaya yang menekankan pada pencapaian individual dan kompetisi, kesepian dan alienasi lebih mudah hadir dan menggerogoti (Rivera-Segarra et al., 2022). Dalam budaya kolektif, kesepian muncul berkaitan dengan keinginan diterima secara sosial. Sementara dalam budaya individual, kesepian berkaitan dengan keinginan untuk memiliki kedekatan individual pertemanan atau secara romantis (Rokach, 2018). Dari isu generasi juga, antara generasi tua dan generasi muda, kemampuan untuk dapat mengekspresikan atau tidak perasaan dapat berujung pada munculnya rasa kesepian. Isu beban ganda perempuan juga menyebabkan perempuan merasa kesepian karena dia tidak bisa terhubung dengan orang-orang yang dianggapnya penting. Terakhir, isu anak muda yang mengalami fase kritis perubahan hidup sering kali merasa kesepian karena tidak mampu memenuhi ekspektasi budaya, seperti tuntutan untuk stabil secara finansial, menikah, dan memiliki keturunan, melahirkan ketakutan-ketakutan karena merasa gagal dan tak cukup berharga.
Secara khusus dari perspektif gender, kesepian terjadi pada perempuan, laki-laki, non-binary, dan orang-orang dengan disabilitas. Perempuan lebih ekspresif sehingga lebih gampang mendapatkan dukungan emosional. Namun di sisi lain, ketika perempuan hidup lebih lama dibanding laki-laki, maka kesehatannya akan menurun, memiliki keterbatasan mobilitas dan fungsional, bahkan hingga bergantung pada bantuan medis, membuat perempuan kesulitan untuk menjalin hubungan sosial atau terhubung dengan keluarga maupun teman-temannya. Hal sebaliknya terjadi pada laki-laki dengan nilai maskulinitasnya, mereka tidak pandai mengekspresikan kesepian, apalagi ditambah stigma negatif tentang laki-laki kesepian. Adapun pada kelompok yang non-binary, isunya itu lebih kepada kurangnya pengakuan dan penerimaan sosial atas identitas mereka (Pinquart & Sorensen, 2001).
Dari semua itu, ketidaksetaraan dan marginalisasi dianggap sebagai faktor utama penyebab kesepian (Bu et al., 2020). Perempuan muda dari kelompok minoritas misalnya, selain mereka dituntut sebagai orang dewasa, mereka juga menghadapi diskriminasi sosial, seksisme, rasisme, intimidasi, terjebak dalam situasi kerja dan sistem sosial yang tidak adil (Maes et al., 2019). Mereka yang terusir oleh negara, ibu-ibu muda, dan orang dengan disabilitas fisik dan atau mental juga menjadi kelompok yang sering merasakan kesepian. Lebih lanjut, faktor sosial ekonomi yang kurang semisal pengangguran, penghasilan ataupun pendidikan seseorang yang rendah menyebabkan kerentanan akan kesepian. Oleh karenanya, kesepian juga bersifat politis. Perasaan kesepian yang seseorang rasakan adalah produk dari situasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang membentuk kehidupan.
Mengingat topik kesepian ini sangat dekat dan dialami hampir seluruh orang, diskusi berlangsung hangat dan intens. Audiens sangat bersemangat dan aktif untuk mengemukakan pandangan dan pengalamannya terkait kesepian ini, mulai dari celetukan terkait lagu-lagu Indonesia bertemakan laki-laki kesepian, komentar apresiatif terhadap penanganan serius pemerintah Inggris dalam menangani laporan kesepian para warganya dan harapan bahwa pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama, bagaimana kehidupan mahasiswa yang sangat dekat dengan kesepian berpengaruh pada kesehatan mental, perbedaan kesepian dan menyendiri, beragam pendekatan untuk menangani kesepian, hingga bagaimana keterkaitan internet serta teknologi dalam menyebabkan atau menyembuhkan kesepian. Untuk pertanyaan terakhir, Silfana menjelaskan bahwa teknologi dan internet sangat bermanfaat dalam membantu untuk terkoneksi dengan keluarga di belahan bumi yang berbeda misalnya, melalui audio ataupun video call. Namun di sisi lain, dalam banyak penggunaan AI yang banyak membantu manusia untuk tidak kesepian, harus disadari bahwa itu adalah robot yang tidak bisa berempati layaknya orang terdekat.
Sebelum diskusi berakhir, topik tentang vulnerability (kerentanan) dan loneliness (kesepian) mencuat, apakah ini state (keadaan) atau status. Ketika keduanya dianggap state, maka layaknya masalah situasional, dia bisa relatif, tergantung orang-orang, posisi kelasnya, akses terhadap diskursus dan fasilitas, akses terhadap sistem sosial dan dukungan sosial, akan menentukan seberapa ekstrim state itu dialami. Namun jika keduanya diposisikan sebagai status, maka kelompok yang paling rentan misalnya dialami para lansia, yang kemudian memunculkan stereotip, narasi dan membentuk identitas. Dalam hal ini, Silfana melihat adanya hubungan antara kesepian dengan perasaan tidak aman. Dalam kasus lansia, bagi negara dengan kesejahteraan sosial yang baik, mereka tidak menjadi isu karena keterlibatan negara menanggung dan menyediakan sistem yang menciptakan rasa aman bagi mereka. Silfana melihat bahwa kerentanan dapat dikategorikan sebagai status sosial yang menjadi salah satu faktor yang membuat individu kesepian. Diskusi ditutup dengan penekanan bahwa dalam banyak kasus, sering kali status sosial ekonomi menjadi faktor risiko mengapa orang menjadi kesepian.
Referensi:
- Bu, F., Steptoe, A., & Fancourt, D. (2020). Who is lonely in lockdown? Cross-cohort analyses of predictors of loneliness before and during the COVID-19 pandemic, Public Health, 186, 31-34, https://doi.org/10.1016/j.puhe.2020.06.036.
- Cacioppo, S., & Cacioppo, J. T. (2015). Why may allopregnanolone help alleviate loneliness?, Medical Hypotheses, 85(6), 947–952.
- Hawkley, L.C., & Cacioppo, J.T. (2010). Loneliness Matters: A Theoretical and Empirical Review of Consequences and Mechanisms. Annals of Behavioural Medicine, 40(2), 218-227.
- Korzhina, Yulia, Jessica Hemberg, Pia Nyman-Kurkiala & Lisbeth Fagerström. (2022). Causes of involuntary loneliness among adolescents and young adults: an integrative review, International Journal of Adolescence and Youth, 27(1), 493-514, https://doi.org/10.1080/02673843.2022.2150088.
- Maes, M., Qualter, P., Vanhalst, J., Van den Noortgate, W., & Goossens, L. (2019). Gender Differences in Loneliness across the Lifespan: A Meta–Analysis. European Journal of Personality, 33(6), 642–654. https://doi.org/10.1002/per.2220.
- Pinquart, Martin & Sörensen, Silvia. (2001). Gender Differences in Self-Concept and Psychological Well-Being in Old Age: A Meta-Analysis, The Journals of Gerontology: Series B, 56(4), P195–P213, https://doi.org/10.1093/geronb/56.4.P195
- Rivera-Segarra, Eliut, Franco Mascayano, Lubna Alnasser, Els van der Ven, Gonzalo Martínez-Alés, Sol Durand-Arias, Maria Francesca Moro, Elie Karam, Ruthmarie Hernández-Torres, Sebastián Alarcón, Alíxida Ramos-Pibernus, Rubén Alvarado, Ezra Susser. (2022). Global mental health research and practice: a decolonial approach, The Lancet Psychiatry, 9(7), 595-600, https://doi.org/10.1016/S2215-0366(22)00043-8.
- Rokach, Ami. (2018). The effect of gender and culture on loneliness: A mini review, Emerging Science Journal, 2(2), 59-64, https://doi.org/10.28991/esj-2018-01128.
***
Keterangan:
Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2023-09–20-Articles. Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.