Memahami Iklim Masa Lalu untuk Prediksi Perubahan Iklim di Masa Depan
- 12 September 2024
- 02 Mins read
Sumber Gambar : SciencePoles
Penulis : Hanif Santyabudhi Sutiyoso (Ocean and Earth Science, University of Southampton)
Paleo-klimatologi mempelajari iklim bumi di masa lalu dengan menggunakan data dari arsip geologi seperti lingkaran pohon, sedimen dasar laut, inti es, terumbu karang, dan serbuk sari. Data ini disebut sebagai “climate proxy” yang berfungsi sebagai karakteristik fisik dari lingkungan yang terawetkan untuk memverifikasi kondisi iklim terdahulu. Isotop stabil digunakan untuk merepresentasikan suhu dan volume es hingga 700 ribu tahun lalu, membantu menggambarkan fase glasial dan interglasial.
Studi tentang iklim masa lalu penting untuk memahami perubahan iklim yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Selain itu, mempelajari masa lalu membantu meramalkan skenario iklim di masa depan. Fenomena seperti precession, obliquity, dan eccentricity—yang dikenal sebagai siklus Milankovitch—berpengaruh pada jumlah sinar matahari yang masuk ke bumi, sehingga berdampak pada perubahan iklim secara alami.
Model iklim memainkan peran penting dalam menganalisis mekanisme iklim masa lalu dan masa depan. Sebelum model dijalankan penuh untuk simulasi iklim paleo, diperlukan tahap kontrol dengan menjalankan simulasi kondisi pra-industri. Tahap ini bertujuan untuk menstabilkan model dan memastikan kualitasnya. Salah satu temuan penting adalah pemanasan signifikan yang terjadi di wilayah kutub selama MIS 11 (periode interglasial sekitar 400 ribu tahun lalu). Pemanasan ini disebabkan oleh remnant effect (penyimpanan panas lebih lama di laut) dan pengaruh gas rumah kaca yang kuat.
Vegetasi juga berperan penting dalam eksperimen iklim karena memengaruhi siklus karbon dan pola iklim secara keseluruhan. Melibatkan vegetasi dalam model iklim dapat meningkatkan akurasi prediksi, terutama dalam memahami interaksi antara atmosfer dan biosfer.
Memahami iklim masa lalu adalah kunci untuk memprediksi dan merespons perubahan iklim di masa depan. Dengan mengkaji variabilitas alami iklim melalui model dan data geologi, kita dapat lebih memahami faktor-faktor yang memengaruhi perubahan iklim global. Tantangan terbesar adalah memastikan model iklim yang digunakan akurat dan mampu mencerminkan kondisi nyata, serta pentingnya mengedukasi publik agar lebih sadar akan dampak perilaku mereka terhadap iklim.
Sesi Tanya Jawab
Pada sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan menarik muncul. Misalnya, Dwica bertanya mengenai target IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celsius dibandingkan era pra- industri. Dari hasil analisis gas rumah kaca, kenaikan suhu saat ini bersifat eksponensial dan lebih tinggi dibandingkan periode iklim serupa di masa lalu.
Dony mengangkat isu validasi model iklim, khususnya untuk wilayah Indonesia, dan relevansi temuan ilmiah bagi masyarakat umum. Validasi model iklim dapat dilakukan dengan membandingkan data model dengan local climate proxy (contoh kasus puncak es Jayawijaya), seperti isotop dari inti es. Hal ini penting untuk memperbaiki model iklim agar lebih akurat. Selain itu, Dony menekankan pentingnya mengkomunikasikan temuan ilmiah kepada publik. Edukasi iklim bisa dimulai dari hal sederhana, seperti memperkenalkan perbedaan emisi antara transportasi kereta dan pesawat. Selama pandemi, penurunan emisi karbon dioksida dari transportasi memberikan gambaran nyata tentang dampak perilaku manusia terhadap iklim.
Catatan: Tulisan ini dikembangkan berdasarkan acara Diskursus (Diskusi Urusan Khusus) Klaster Perubahan Iklim – Doctrine UK yang diadakan pada 24 April 2024. Acara ini mengundang Rima Rachmayani (Program Studi Oseanografi, Institut Teknologi Bandung) sebagai narasumber dan dimoderasi oleh Hanif Santyabudhi S. (University of Southampton).
Dokumentasi acara
******