Melihat Peluang dari Praktek Trans-National Education di Bidang Pendidikan Tinggi

  • 14 April 2025
  • 05 Mins read

Picture is AI generated by Canva

Kalihputro Fachriansyah

PhD student of Education Practice and Society di University College London/ Perencana Madya Direktorat Pendidikan Tinggi dan Iptek Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

Foto Diskusi Trans-National Education yang Dihadiri oleh Praktisi Pendidikan Tinggi Mancanegara di University of London (Dokumentasi pribadi)

Partisipasi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Indonesia saat ini tengah mengalami tahapan masifikasi pendidikan tinggi dengan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi mencapai 32 persen di tahun 2024 (BPS, 2024). Berdasarkan literatur, terdapat tiga fase perkembangan sistem pendidikan tinggi berdasarkan proporsi penduduk yang berpartisipasi. Pertama, sistem pendidikan tinggi elit dimana pendidikan tinggi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja atau di bawah 15 persen dari penduduk usia pendidikan tinggi. Kedua, sistem pendidikan tinggi massif dengan partisipasi di kisaran 15-50 persen. Terakhir, adalah pendidikan tinggi universal atau yang disebut juga high-participation system (HPS) of higher education dimana sebagian besar atau lebih dari 50 persen penduduk berusia 19-23 tahun berada di perguruan tinggi.

Masifikasi pendidikan tinggi terjadi akibat dorongan dari individu dan sosial. Keinginan untuk dapat bersaing dan menaikan derajat kesejahteraan (mobilitas sosial) menjadi faktor pendorong meningkatnya minat bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam tataran sosial, Indonesia menjadi negara yang ikut terpacu dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi melalui dukungan pendanaan dari pemerintah. Diawali dari Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2000-2015 yang berfokus pada wajib pendidikan dasar dan dilanjutkan dengan upaya untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dengan pendidikan menengah universal, adopsi keduanya dalam perencanaan pembangunan nasional (seperti rencana pembangunan jangka menengah nasional, Peraturan Presiden 111/2022 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) bertujuan untuk mendorong semakin banyaknya penduduk lulusan pendidikan menengah yang dapat memasuki sistem pendidikan tinggi.

Kini, di dalam Visi Indonesia 2045, negara menargetkan APK perguruan tinggi hingga 60 persen di tahun 2045. Suatu lompatan yang luar biasa tinggi untuk dapat meningkatkan angka partisipasi hampir dua kali lipat dalam waktu hanya 22 tahun. Padahal, jika merujuk data empiris di beberapa tahun terakhir, kenaikan APK PT per tahunnya berkisar di bawah 1 persen. Dengan tren yang sama (business as usual) diperkirakan baru sekitar tahun 2050 target APK PT 60 persen dapat tercapai.

Belajar dari Pengalaman Inggris

Meskipun demikian, bukanlah hal mustahil untuk “menggenjot” partisipasi pendidikan tinggi dalam waktu yang singkat. Kita dapat melihat bagaimana Inggris dapat meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi dari 29 persen di tahun 1991 menjadi 60 persen di tahun 1999 (UNESCO Institute for Statistics, 2025). Peningkatan akses secara signifikan tersebut dilandasi White Paper tahun 1987 dan 1991 - suatu dokumen kebijakan Pemerintah Inggris - yang memfokuskan pada dua hal: perbaikan sistem pendidikan menengah untuk meningkatkan lulusan yang prospektif untuk ke pendidikan tinggi, dan kemudahan sistem penerimaan mahasiswa baru.

Dua puluh tahun berselang yaitu di tahun 2019, melalui International Education Strategy-nya Pemerintah Inggris tidak lagi hanya memfokuskan untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi warga negaranya, akan tetapi juga mengekspor pendidikan tinggi dengan target devisa mencapai 35 milyar pound-sterling (sekitar 675 milyar rupiah) pertahunnya. Salah satu strateginya adalah melalui trans-national education (TNE), yaitu suatu pendidikan tinggi dimana mahasiswanya melakukan studi di luar perguruan tinggi pemberi gelar berada.

Praktek Trans-National Education

Berdasarkan studi banding penulis ke University of London (UoL) beberapa waktu lalu, diperoleh fakta bahwa saat ini terdapat 45ribu mahasiswa TNE yang tersebar di 190 negara, termasuk Indonesia. UoL adalah suatu federasi perguruan tinggi di London Raya yang beranggotakan 17 perguruan tinggi bereputasi dunia seperti University College London (UCL), King’s College London, dan the London School of Economics and Political Science (LSE).

Mahasiswa TNE UoL sepenuhnya melakukan studi secara daring atau hybrid di 90 pusat pembelajaran (teaching centre) di 45 negara. Di Indonesia sendiri pusat pembelajaran TNE UoL tidak tersedia sehingga mahasiswa memanfaatkan fasilitas yang tersedia di Singapura atau Malaysia. Menariknya, UoL mengaku bahwa TNE didesain terutama untuk menyasar penduduk non usia pendidikan tinggi (school leaver) yang mau memperbaiki karir atau berganti keahlian melalui kualifikasi sarjana dan pascasarjana. Untuk menjamin kualitas lulusan, UoL mengklaim bahwa proses studi dan penilaian untuk kelulusan mahasiswa program TNE sama dengan program reguler tatap muka di London.

TNE merupakan contoh menarik yang dapat diaplikasikan di Indonesia untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. Kita bisa mengakses pendidikan kelas dunia tanpa harus merogoh kocek yang dalam untuk biaya transportasi, akomodasi, dan keperluan sehari-hari di luar negeri. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Agama, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dapat mendiversifikasi program beasiswa gelar sehingga lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang merasakan kualitas pendidikan tinggi luar negeri. Meskipun pengalaman yang dirasakan oleh mahasiswa akan berbeda, secara hasil (pengetahuan dan kompetensi) dapat diupayakan sama dengan memilih perguruan tinggi yang berkualitas.

Dalam sudut pandang yang lain, TNE juga dapat menjadi sumber pendanaan alternatif pendidikan tinggi di Indonesia. Berbekal otonomi pengelolaan keuangan dan akademik, perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) sangat berpotensi untuk dapat membuka kelas-kelas TNE atau pendidikan jarak jauh (PJJ) untuk pasar masyarakat internasional. Kita harus percaya diri dengan daya tarik Indonesia dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di bidang sains dan teknologi kita bisa memberdayakan keanekaragaman hayati di Indonesia yang merupakan kedua tertinggi di dunia.

Selain itu, keragaman budaya dan tingginya populasi penduduk juga dapat menjadi sumber topik kajian ilmu pengetahuan yang menarik bagi mahasiswa luar negeri. Program studi khas Indonesia perlu dikembangkan dengan serius, misalnya dengan memanfaatkan fitur lokasi perguruan tinggi yang berada di khatulistiwa, dekat dengan laut dalam, atau dekat dengan hutan. Penyelenggaraan TNE untuk pasar luar negeri diharapkan dapat memperkuat keuangan perguruan tinggi sehingga dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan atau mendanai perluasan akses pendidikan bagi mahasiswa Indonesia

Proses atau outcome?

Mike Winter, Director International Affairs UoL menyampaikan bahwa tantangan dalam implementasi TNE adalah situasi kebijakan pemerintah negara setempat, apakah kaku terhadap pendidikan tinggi berbasis proses atau dapat lebih menerima beragam bentuk proses pendidikan karena yang menjadi fokus adalah outcome-lulusan yang berkualitas dan produktif. Di Indonesia sendiri pendidikan berbasis outcome/outcome-based education (OBE) telah lama dipraktekkan namun penekanannya pada transformasi fokus dari ‘topik apa yang diajarkan kepada mahasiswa’ menjadi ‘pembelajaran apa yang dirasakan oleh mahasiswa’.

PJJ yang merupakan salah satu pengejawantahan OBE di Indonesia saat ini masih dalam tahap awal menuju masifikasi. Belajar dari pengalaman sulitnya kuliah tatap muka semasa pandemi Covid-19 yang lalu, PJJ yang semula dibatasi perizinannya dengan pertimbangan mutu pembelajaran, kini mendapatkan dukungan penuh. Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pada beberapa waktu yang lalu, memberikan ruang fleksibilitas dalam proses pendidikan melalui tatap muka, jarak jauh termasuk daring, ataupun kombinasi keduanya.

Momentum PJJ atau TNE yang tercipta akibat dukungan regulasi dan perkembangan teknologi pembelajaran perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia. Peluang untuk meningkatkan akses dan mencapai target pembangunan perlu diraih. Meskipun demikian, catatan terpenting tetaplah terletak pada peran pendidikan tinggi yang melatih kemampuan berpikir kritis, mensintesa informasi dan ilmu pengetahuan untuk peningkatan produktivitas serta akhlak lulusannya. [*]

Profil Author:

Kalihputro Fachriansyah https://www.linkedin.com/in/kalihputro-fachriansyah/

Profil Editor:

Kurnia Putri Yuliandari https://www.linkedin.com/in/kurnia-yuliandari/