Sumber: unsplash.com
Penulis: Rezza Frisma Prisandy, Mahasiswa Doktoral bidang Business and Management, University of Manchester
ARTICLE
Pembiayaan Iklim atau lebih populer dengan sebutan Climate Finance selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam berbagai forum perubahan iklim, termasuk COP27. Pembiayaan perubahan iklim merupakan kunci keberhasilan inisiatif Net Zero Emissions dalam rangka Persetujuan Paris tahun 2015. Dalam persetujuan tersebut, 196 negara telah sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat dibandingkan dengan era pra-industrialiasi yang diwujudkan dengan komitmen negara melalui Nationally Determined Contribution (NDC).
Berbagai inisiatif menuju tercapainya target NDC telah dirancang oleh setiap negara, mulai dari program pengurangan penggunaan batu bara, pengendalian kebakaran hutan, sampai pada program konservasi keanekaragaman hayati. Namun, berbagai inisiatif tersebut tidak dapat tercapai tanpa adanya dukungan pembiayaan iklim yang jumlahnya tidak sedikit.
Dalam COP26 di Glasgow Skotlandia, Menteri Keuangan RI menyampaikan bahwa kebutuhan pendanaan iklim untuk Indonesia dalam pemenuhan target NDC mencapai Rp 3.779 triliun. Artinya, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 200-300 triliun setiap tahunnya, atau setara dengan 7-11 persen belanja negara tahun 2022.
Dalam pemenuhan pembiayaan iklim tersebut, tentu emerintah tidak dapat bergerak sendiri. Dukungan dari sektor jasa keuangan seperti perbankan dan pasar modal menjadi hal yang sangat penting. Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator sektor jasa keuangan menjadi sangat signifikan dalam pengembangan pembiayaan iklim dalam bentuk regulasi yang berwawasan lingkungan.
Walaupun tantangan transisi pembiayaan dan investasi hijau cukup menantang, namun perbankan dan dunia pasar modal telah menyediakan berbagai instrumen yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan iklim, seperti program “green loan” di sektor perbankan, serta instrumen “green bond” yang juga sangat populer di pasar modal. Pada dasarnya, merupakan produk dengan mekanisme yang sama dengan produk konvensional. Namunbedanyagreen loan dan green bond menggunakan proyek yang berwawasan lingkungan sebagai underlying instrumen tersebut.
Sebagai wujud dukungan regulator dalam pembiayaan iklim, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). POJK tersebut mengatur berbagai hal terkait penerbitan green bond oleh Emiten dan Perusahaan Publik.
Selain itu, Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 juga telah diterbitkan OJK pada awal tahun 2022 ini berfungsi sebagai panduan bagi sektor jasa keuangan dalam melakukan klasifikasi sektor dan sub-sektor yang termasuk kategori berwawasan lingkungan. Dengan demikian setor perbankan serta investor akan terbantu dalam pengambilan keputusan investasi hijau.
Dalam perspektif bisnis, mitigasi perubahan iklim tidak hanya dilakukan dengan pemenuhan pembiayaan dari pemerintah dan sektor jasa keuangan. Saat ini, Carbon Offset dan Carbon Trading menjadi mekanisme yang sangat popular, khususnya di negara-negara Eropa. Secara sederhana, dalam mekanisme tersebut, pemerintah dalam hal ini menerapkan ambang batas karbon yang dapat dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan yang melebihi ambang batas karbon yang dihasilkan diwajibkan untuk melakukan “net off” karbon tersebut dengan cara memberikan pendanaan bagi green project melalui berbagai Credit Offset Platform, atau membeli sertifikat karbon yang dijual oleh perusahaan lain yang tidak mencapai ambang batas karbon melalui mekanisme Carbon Trading.
Akhirnya, upaya untuk mencapai net zero emissions, termasuk pemenuhan pembiayaan iklim, tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak, namun ini merupakan kerja kolektif dan menjadi tanggung jawab bersama. Kegagalan kita dalam melakukan mitigasi perubahan iklim akan berdampak lebih buruk dari apa yang kita bayangkan. Selain dapat menimbulkan krisis lingkungan, kegagalan mitigasi perubahan iklim juga dapat memicu krisis ekonomi serta krisis keuangan.
***
*) Artikel ini adalah aset pengetahuan organisasi Doctrine UK dengan nomor registrasi 2022-11-11-Articles.
Lampiran
Presentasi
terlampir adalah materi akademik tanpa telaah formal keilmuan (non-reviewed) yang diedarkan semata-mata untuk memantik komentar dan diskusi. Oleh karena itu: