Keterangan: Pegunungan Kendeng, Oleh Denysya Farid – https://id.wikipedia.org/wiki/Pegunungan_Kendeng
Naskah ini merupakan materi yang disampaikan dalam diskusi rutin klaster Geography and Built Environment – Doctrine UK pada Kamis, 20 Oktober 2022.
ARTICLES
Penulis: Abdul Kodir, Department of Environment and Geography, University of York
Sebelum melangkah jauh mengenai analisa bagaimana kait kelindan kontestasi pengetahuan dalam instrumen lingkungan, pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari perspektif paradigma ilmu sosial. Posisi pengetahuan dalam paradigma ilmu sosial telah mendapatkan beberapa kritik dari dua arus besar ilmu sosial, diantaranya Madzhab Fankfurt dan aliran post-structuralism yang digawangi oleh Michel Foucault.
Madzhab Frankfurt dengan beberapa tokoh Neo-Marxism seperti Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, dan lain-lain melihat bahwa pengetahuan tidak bebas nilai seperti yang digaungkan oleh aliran positivisme. Mereka menyepakati bahwa pengetahuan akan selalu memiliki tendensi kepentingan dan politik. Sedangkan, Foucault dalam konsep power/knowledge telah membedah bagaimana kait kelindan kekuasaan dan pengetahuan melalui metode arkeologi pengetahuan sejak era Victoria. Kedua paradigma ini menjadi tumpuan untuk melakukan telaah analisis yang relevan dan kemudian diaplikasikan dalam pendekatan ekologi politik.
Berkembangnya analisis post-structuralism dalam ekologi politik yang berusaha menjelaskan selubung kekuasaan dan pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan post-colonialism. Pendekatan ini berhasil membuka tabir bagaimana western knowledge yang dibawa oleh para kolonialis telah melakukan ekstraksi sumber daya alam di negara global Suoth dengan para ilmuwan seperti ahli kehutanan dan ahli bumi (geolog). Selain itu, pada saat yang sama, dengan dalih pengetahuan, mereka juga membuat narasi bahwa kerusakan lingkungan lebih banyak dilakukan oleh masyarakat adat karena metode tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
AMDAL, Instrumen Lingkungan Global, dan Ekologi Politik
AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) merupakan salah satu dari sekian instrumen lingkungan global untuk melakukan penilaian terhadap risiko kerusakan lingkungan dari satu proyek pembangunan. Instrumen ini melibatkan para pakar dari berbagai bidang keilmuan untuk melakukan penghitungan terhadap upaya meminimalkan kerusakan lingkungan beserta pengelolaannya. Perhitungan ini merupakan satu produk pengetahuan yang mana validitas dan reliabilitasnya sudah terukur dan teruji.
Namun dalam praktiknya, terdapat beberapa persoalan terutama di negara berkembang. Beberapa persoalan diantaranya seperti; 1. inefisiensi; 2. masalah transparansi (rendahnya partisipasi publik); 3. regulasi yang tidak jelas; 4. kapasitas organisasi yang lemah; dan 5. ketidakpastian situasi ekonomi dan politik. Namun terlepas dari persoalan tersebut, studi empiris ekologi politik telah menyingkap kompleksitas dari AMDAL sebagai satu dokumen lingkungan.
Dari perspektif ekologi politik, AMDAL merupakan government technology yang berasal dari neo-liberal instrumental governance (Carmona & Silva, 2020). Artinya, dalam praktiknya, AMDAL terhubung relasi kuasa dan praktik hegemoni. Sehingga klaim bahwa dokumen AMDAL adalah produk yang bebas dari kepentingan dan intervensi politik tidak dapat dibenarkan sepenuhya. Bahkan kontestasi pertarungannya terjadi pada skala yang beragam.
Membaca Situasi AMDAL di Kendeng – Kasus Rembang
AMDAL menjadi satu dokumen yang relevan untuk menelusuri dan memahami kompleksitas dari konflik dan kontestasi sumber daya Karst di Pegunungan Kendeng Utara di Rembang. Dokumen ini dapat dianggap menjadi satu bukti bahwa rencana pendirian pabrik semen di kawasan CAT Watuputih memiliki kecacatan dari beragam aspek.
Pembuktian persoalan tersebut dilakukan oleh masyarakat lokal yang dibantu oleh para ahli dan akademisi untuk mendedah AMDAL. Mereka melakukan review dan pembuktian lapangan terhadap dokumen AMDAL dari perusahaan. Bahkan masyarakat pun membuka kesempatan bagi para ahli penyusun dokumen AMDAL perusahaan untuk uji publik secara terbuka.
Secara administratif, lembaga konsultan yang diberi mandat untuk melakukan penyusunan AMDAL tidak terdaftar dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Artinya, secara prosedural penyusunan dokumen ini bisa dikatakan menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. Selain itu, persoalan substansial lainnya yang dilewatkan ialah penentuan garis dasar lingkungan yang bisa dikatakan cukup terbatas dalam mengungkapkan: kondisi hidrologi CAT Watuputih, memungkinkan untuk diklasifikasikan sebagai kawasan lindung geologi, kondisi fisik lahan yang mencirikan karst (ponor, gua, dll), kondisi tenurial di rencana lokasi tambang, dan strategi mata pencaharian petani di rencana lokasi tambang.
Persoalan ini seharusnya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa pendirian pabrik semen di Kawasan CAT Watuputih seharusnya dievaluasi. Hal tersebut dikarenakan wilayah tersebut merupakan wilayah lindung geologis yang berfungsi menyediakan air untuk penghidupan bagi masyarakat sekitar pegunungan Kendeng Utara. Bukan sebaliknya, memaksakan pertambangan tetap berjalan meskipun keputusan MA telah mencabut izin lingkungan.
***
Daftar Pustaka
Carmona Castillo, S. & Puerta Silva, C., (2020) “How do environmental impact assessments fail to prevent social conflict? Government technologies in a dam project in Colombia”, Journal of Political Ecology 27(1), 1072-1091. doi: https://doi.org/10.2458/v27i1.23223
Keterangan:
Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK No. 2022-11-22-Articles.
Doctrine UK tidak bertanggung jawab atas pandangan yang diungkapkan dalam tulisan dan pandangan tersebut menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.