ARTICLE

Narasumber: Dwi Nugroho, PhD Student University of Leeds & Kalihputro Fachriansyah,
PhD Student University College London

Dalam diskusi seFRUIT Teori terkini yang diselenggarakan oleh kluster Education Doctrine  UK, Dwi Nugroho, dosen Bahasa Inggris di Fakultas Keperawatan sebuah universitas swasta  di Indonesia sekaligus kandidat PhD di University of Leeds menekankan akan pentingnya  menghadirkan pembelajaran Bahasa Inggris yang bermakna di dalam kelas. Ia berpendapat  bahwa gap antara apa yang diajarkan oleh pengajar Bahasa Inggris di kelas dengan yang akan  dilakukan mahasiswa di luar kelas dengan Bahasa Inggris harus diminimalisir. Pembelajaran  Bahasa Inggris di kelas hendaknya sesuai dengan apa yang akan dilakukan oleh mahasiswa di  luar kelas. Secara khusus, Ia berbagi wawasan penting tentang pembelajaran bahasa yang  bermakna bagi mahasiswa keperawatan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan Task  Based Language Teaching (TBLT) atau pembelajaran berbasis tugas dimana “task” sebagai  basis dari pembelajarannya. Tugas nyata yang dilakukan oleh perawat di lapangan direplikasi  oleh pengajar Bahasa Inggris sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman mengenai hal  yang serupa yang akan mereka jumpai ketika lulus atau di luar kelas. Oleh karenanya,  pembelajaran Bahasa Inggris dalam konteks keperawatan bukan “learning about the language”,  tetapi tentang “learning to use the language to communicate”.  

Bahasa Inggris untuk Keperawatan: TBLT dan Perubahan Pembelajaran  

Dwi menekankan tantangan unik yang dihadapi oleh perawat Indonesia yang harus mampu  berkomunikasi secara efektif dengan pasien dari berbagai latar belakang. Penggunaan Bahasa  Inggris dalam dunia kesehatan diperlukan untuk mengurangi kesenjangan komunikasi dengan pasien yang berbahasa asing dan mengurangi risiko kesalahan dalam proses keperawatan.  Selain itu, perawat juga harus mengakomodir semua pasien tanpa pandang bulu.  

“Salah satu pendekatan pembelajaran Bahasa Inggris adalah berbasis grammar. Dalam  pendekatan ini, guru sering berperan sebagai pusat dari proses pembelajaran. Pembelajaran  cenderung teacher-centered. Guru menjelaskan, siswa mendengarkan. Siswa secara pasif  belajar menghafal rumus-rumus tata bahasa namun tidak mendapatkan kesempatan cukup  untuk menggunakan bahasa untuk komunikasi sesuai dengan apa yang akan mereka alami di  luar kelas. Bukan berarti tata bahasa tidak penting, akan tetapi akan lebih baik bila siswa dilatih  untuk lebih aktif berkomunikasi.” ujar Dwi.  

Kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien yang tidak memahami Bahasa Indonesia,  maupun bekerja dengan pekerja medis dari negara lain, menunjukkan peran vital penguasaan  Bahasa Inggris dalam profesi keperawatan. Mahasiswa sebaiknya banyak dilatih untuk  berkomunikasi melalui tugas-tugas yang direplika dari tugas-tugas di pelayanan kesehatan di  luar kelas. 

Pendekatan Task-Based Language Teaching (TBLT) 

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Dwi merekomendasikan penerapan TBLT dalam  kurikulum Bahasa Inggris di program keperawatan yang disusun melalui proses analisis yang  sistematis. Hal inilah yang memotivasinya untuk meneliti pengembangan kurikulum berbasis  tugas (Task-Based Language Teaching) sebagai riset PhD di University of Leeds. “TBLT  berfokus pada tugas-tugas dunia nyata yang kemungkinan besar akan dihadapi mahasiswa  dalam pekerjaan mereka,” jelasnya.  

Metode ini memungkinkan mahasiswa untuk belajar bahasa Inggris melalui aktivitas praktis,  seperti menjelaskan prosedur medis, memberikan instruksi kepada pasien, atau menjawab  pertanyaan terkait perawatan kesehatan. Dwi juga menambahkan bahwa TBLT meningkatkan  kompetensi afektif mahasiswa seperti motivasi, kepercayaan diri dalam mempelajari Bahasa  Inggris.  

“TBLT tak hanya digunakan di Bahasa Inggris, teori pendekatan ini juga bisa dipakai di  pembelajaran bahasa apapun. Target TBLT memang mencari tugas (task) yang ada di dunia  industri dan meminimalisir gap yang akan dihadapi mahasiswa di dunia kerja nanti. Inilah  pentingnya needs analysis atau analisis kebutuhan yang dilakukan secara sistematis dan  komprehensif. Contohnya, analisis kebutuhan untuk jurusan keperawatan, ya harus mengecek  sendiri penggunaan bahasa komunikasi di klinik ataupun rumah sakit dari sumber yang sahih  yakni perawat dengan berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya melalui wawancara,  survei, maupun observasi. Dari sinilah nanti kita benar-benar bisa menerapkan tugas-tugas  perawat dalam berkomunikasi baik listening, speaking, writing, dan reading di dalam silabus  dan kurikulum kampus sehingga pembelajarannya menjadi lebih bermakna.” imbuhnya.  

Tantangan dalam Implementasi TBLT  

Namun, Dwi menyadari bahwa penerapan TBLT di Indonesia memiliki tantangan tersendiri.  “Memang mahasiswa sudah mendapatkan pembelajaran Bahasa Inggris di jenjang SD hingga  SMA. Namun, pembelajaran berbasis grammar masih sering diterapkan sehingga  pengajarannya masih teacher-centered dan kaku. Siswa cenderung enggan untuk mau  berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris karena tidak terbiasa atau takut diolok-olok ketika  kurang akurat dalam menggunakan grammar tertentu.” ujarnya.  

“Tata bahasa atau grammar merupakan komponen penting dalam komunikasi. Akan tetapi,  siswa juga perlu mendapatkan pengalaman yang cukup untuk berlatih menggunakan bahasa  untuk komunikasi. Dengan adanya pembelajaran berbasis grammar, siswa cenderung pasif dan  kaku karena fokusnya adalah pada keakuratan sebuah kalimat saja. Saya sering menemui kasus  ketika siswa sangat pintar dan sempurna dalam mengerjakan grammar, akan tetapi ia sangat  susah berbicara karena tidak terbiasa menggunakan pengetahuan tentang grammar untuk  berkomunikasi. Dia juga cenderung minder dan takut salah grammar. Ini yang harus dibenahi.”  ungkapnya.  

Kolaborasi dan Tujuan Masa Depan 

Diskusi ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pendidik, pembuat kebijakan, dan  institusi kesehatan untuk menciptakan program bahasa Inggris yang efektif dan lebih  bermakna.  

Dwi menyerukan dukungan yang lebih besar dalam merancang kurikulum yang mencerminkan  kebutuhan profesi keperawatan yang terus berkembang.  

“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Penting bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan institusi  untuk bersinergi agar kita bisa menciptakan sistem pendidikan bahasa yang relevan dan efektif  bagi mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan stakeholder terkait saat proses  analisa kebutuhan (needs analysis) dalam rangka penyusunan kurikulum berbasis tugas,” tegas  Dwi.  

Ia memvisualisasikan masa depan di mana perawat Indonesia tidak hanya menjadi penyedia  layanan kesehatan yang kompeten tetapi juga komunikator yang handal di panggung global.  

Inisiatif Education Cluster Doctrine UK  

Dalam diskusi yang sama, Ketua Education Cluster Doctrine UK, Kalihputro Fachriansyah,  kandidat PhD bidang kebijakan pendidikan tinggi di University College London, memaparkan  inisiatif klaster ini untuk mendukung pengembangan anggotanya. Education Cluster Doctrine  UK memfasilitasi knowledge exchange melalui berbagai program seperti diskusi rutin dan  kolaborasi publikasi.  

Salah satu diskusi yang menarik perhatian adalah Lingkar Tesis (LITE) dan Bedah Paper  (BAPER). LITE dirancang sebagai “safe space” dimana antar anggota dapat secara lepas  bertukar pikiran dan berbagi pengalaman seputar aspek penelitian tesis mereka, sedangkan  BAPER menggugah critical thinking melalui analisis mendalam terhadap artikel ilmiah yang  dianggap menarik untuk didiskusikan.  

Kalihputro juga menyebutkan bahwa pada akhir tahun 2023 silam klaster ini telah menerbitkan  buku berjudul Panduan Cerdas Sekolah Dasar di UK untuk Orang Tua Indonesia. Buku ini  ditulis untuk memberikan panduan menyeluruh tentang struktur kurikulum, kegiatan  ekstrakurikuler, evaluasi, dan peran orang tua dalam pendidikan sekolah dasar di UK, yang  dirancang khusus berdasarkan pengalaman pribadi penulis yang merupakan mahasiswa PhD  dari Indonesia.  

Selain itu, Education Cluster Doctrine UK juga sedang menyusun policy brief untuk mengulas  isu-isu pendidikan di Indonesia serta buku bunga rampai teori dalam penelitian pendidikan.  Karya-karya ini bertujuan untuk memberikan inspirasi bagi peneliti muda dan memberikan  masukan strategis untuk kebijakan pendidikan nasional.  

“Kami berharap melalui buku bunga rampai, para peneliti muda dapat termotivasi untuk  membangun ilmu pengetahuan berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu  mereka, seperti jargon standing on the shoulders of giants” jelas Kalihputro.  

Kolaborasi untuk Manfaat yang Lebih Luas 

Kalihputro menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas institusi, tidak hanya antara  mahasiswa PhD di UK tetapi juga melibatkan institusi lain di luar Doctrine UK. Saat ini, tengah  dijajaki potensi kerja sama dengan pihak eksternal agar Doctrine UK dapat memberikan  dampak yang lebih luas. Untuk mendukung hal tersebut, di akhir bulan Desember 2023 telah  diluncurkan Education Cluster Member Directory 2024 yang berisi tentang informasi keahlian  dan area riset anggota klaster.  

Ke depan, perluasan kolaborasi tetap dilakukan beriringan dengan penguatan kapabilitas dan  pemberdayaan anggota Education Cluster. Dengan demikian, akan tumbuh kepercayaan dari  pihak luar Doctrine UK.  

Penutup 

Diskusi ini memberikan gambaran menyeluruh tentang transformasi pendidikan bahasa Inggris  untuk mahasiswa keperawatan di Indonesia dan peran aktif yang diambil oleh klaster Education  Doctrine UK dalam mendukung pengembangan anggotanya. Dengan pendekatan inovatif  seperti TBLT dan kolaborasi lintas institusi, ada potensi besar untuk meningkatkan kualitas  pendidikan dan penelitian di Indonesia.  

Sebagaimana disampaikan oleh Dwi Nugroho, “Ini adalah investasi jangka panjang. Jika kita  mampu membangun generasi perawat yang fasih berbahasa Inggris dan berpusat pada pasien,  kita tidak hanya meningkatkan kualitas individu tetapi juga mengangkat standar pelayanan  kesehatan di Indonesia. Oleh karenanya, proses pembelajaran bahasa Inggris di kelas harus  lebih bermakna.” (DYN/FUM)