Sumber Gambar :  ICCSCenter

ARTICLE

CCS (Carbon Capture and Storage) adalah teknologi untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Teknologi ini telah ada sejak tahun 1970-an dan semakin efisien secara operasional dan biaya. Di Indonesia, CCS diatur melalui beberapa regulasi, termasuk Perpres 2021 tentang Carbon Pricing, Permen ESDM 2/2023 yang fokus pada CCS di industri minyak dan gas, serta peraturan OJK 14/2023 terkait perdagangan karbon. Selain itu, akan ada Perpres baru yang menekankan implementasi CCS lintas batas dan mendorong industri lain untuk ikut serta. Dukungan regulasi ini menjadikan Indonesia siap menjadi hub CCS di Asia Pasifik dengan potensi besar dalam penyimpanan CO2

Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan CO2 yang besar dan strategis, menjadikannya pusat regional potensial untuk CCS. Namun, pengembangan CCS menghadapi beberapa tantangan, terutama dari segi biaya tinggi terkait infrastruktur. Saat ini, industri migas dan panas bumi adalah sektor yang paling siap mengimplementasikan CCS secara massal. Sedangkan, industri lainnya masih menghadapi hambatan terkait akses teknologi dan biaya. Aktivitas CCS juga dihadapkan pada tantangan perubahan kontrak bagi hasil (production sharing contract), yang memerlukan amandemen hukum secara signifikan. Meskipun demikian, potensi Indonesia dalam CCS telah diakui secara global, membuka peluang investasi dan kolaborasi internasional, serta menjadi benchmark bagi negara-negara Asia lainnya. 

Implementasi CCS diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri. Dari segi lingkungan, CCS memainkan peran penting dalam mengurangi emisi CO2. Namun, pertanyaan mengenai risiko lingkungan seperti kebocoran CO2dan potensi CCS sebagai alasan untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi perhatian. Pengelolaan risiko CO2 di dalam tanah dapat dilakukan dengan teknologi yang tepat, mirip dengan pengelolaan gas alam. Evaluasi risiko kebocoran CO2 telah dilakukan, dengan hasil yang menunjukkan persentase kebocoran yang sangat rendah. Teknologi monitoring dan mitigasi risiko akan diterapkan untuk memastikan keamanan penyimpanan CO2 di dalam tanah. Namun, CCS juga berpotensi memengaruhi pasar energi terbarukan dan perlu didukung dengan kebijakan yang mendorong peralihan bertahap ke energi bersih. 

Indonesia telah berpartisipasi dalam beberapa inisiatif internasional untuk mengembangkan teknologi CCS. Kolaborasi ini mencakup pertukaran pengetahuan, pendanaan, dan dukungan teknis. Minat dan investasi global dalam CCS semakin meningkat, didorong oleh kebijakan pemerintah, inisiatif swasta, dan tekanan untuk mencapai target iklim. CCS di Indonesia juga menghadirkan peluang dalam riset model bisnis dan teknologi, terutama di sektor migas. 

Kendati memiliki prospek yang besar, aktivitas CCS di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kebutuhan akan kebijakan yang mendukung dan isu teknis terkait infrastruktur. Untuk mengatasi hal ini, penting adanya harmonisasi kebijakan antar kementerian, termasuk Kementerian ESDM dan KLHK, guna memastikan pemahaman yang sama dalam pengelolaan CO2

Catatan:

Tulisan ini dikembangkan berdasarkan acara Diskursus (Diskusi Urusan Khusus) Klaster Perubahan Ikim – Doctrine UK yang diadakan pada Rabu, 10 Januari 2024. Acara ini mengundang Diofanny Swandrina Putri (Head of Business Development, Indonesia CCS Center) sebagai narasumber, dan dimoderasi oleh Hanif Santyabudhi S. (University of Southampton) beserta Dwica Wulandari (University of Manchester) sebagai notulen. 

Dokumentasi acara: