Mencari ‘Leluhur’ lewat ‘Anak Cucu’: Pengenalan NVivo untuk Riset Kualitatif
Penulis: Eva Wishanti, PhD Candidate in Politics and International Studies, University of Leeds, PIC Cluster NVivo
Pemahaman logika kategorisasi dan labelisasi merupakan kemampuan yang sangat berguna dalam pengelolaan data kualitatif. Salah satu perangkat yang menyediakan fungsi tersebut adalah NVivo. Program NVivo mampu mempermudah proses pemberian label dan kode terhadap data atau informasi yang berserakan. Oleh karenanya, NVivo juga dirancang untuk dapat mengelola berbagai jenis data yang sangat beragam, mulai dari konten karya sastra, data transkrip wawancara, hingga berbagai media audio visual lainnya. Meskipun pada mulanya dikembangkan untuk kajian ilmu sosial, NVivo pada praktiknya juga populer dioperasikan dalam berbagai riset sains. Irisan antara topik sains dan sosial tersebut salah satunya dibahas oleh, narasumber kedua Kelompok Belajar NVivo Doctrine UK yang menghadirkan Chandra Isabella Purba, seorang kandidat PhD dari University of Glasgow, tepatnya School of Medicine, Dentistry and Nursing.
Dengan peserta berjumlah belasan orang, pertemuan pada tanggal 21 Agustus 2022 via Zoom ini cukup interaktif, dengan Ibnu Nadzir sebagai moderator sekaligus juga mahasiswa PhD dari University College London. Bella, begitu sang pemantik diskusi biasa disapa, memulai dengan pengantar ringan bahwa sebenarnya tidak perlu banyak keraguan bagi peneliti untuk memulai memberi label atau kode. Dalam paparannya, Bella berbagi data penelitian yang berupa transkrip wawancara dengan para psikolog, staf, dan tenaga kesehatan yang berkorespondensi dengan pasiennya.
Bella menunjukkan tahapan-tapahan yang penting dalam mengolah data melalui NVivo. Pada langkah pertama, setelah membuka aplikasi NVivo, ia memasukkan transkrip wawancara tersebut ke dalam aplikasinya. Di bagian layar sebelah kiri aplikasi NVivo, terdapat pilihan kolom Files untuk memasukkan data mentahnya. Ia memiliki tiga kategori kelompok orang yang sedang ia teliti, yakni CG (caregiver), patient, dan staff. Tiga kategori ini penting untuk mengklasifikasikan data transkrip wawancara yang telah dimasukkan. Oleh Bella, kelompok narasumber ini dinamakan sebagai first code. Setelah masuk ke dalam pengelompokan berdasarkan narasumber, barulah ia menetapkan kode-kode yang ia rasa cukup sentral. Tahapan pertama ialah menetapkan kode dasar berdasarkan semua informasi, atau initial code. Misalnya ia mengelompokkan data berdasarkan tema tentang “pelayanan yang lama” atau “kelemahan ketika mengakses pelayanan di rumah sakit.” Kode lain yang Bella buat misalnya mengambil tema “lamanya mengakses layanan kesehatan.” Demikian juga seterusnya. Informasi baru apapun yang muncul, langsung saja dibuatkan kode tersendiri, misalnya “kelemahan administrasi”, “kelemahan dalam admission dan clinic”, dan lainnya. Kata-kata dalam pengodean ini bisa panjang ataupun pendek, yang penting ada satu frase yang mereka katakan. Bella juga melanjutkan bahwa dalam proses ini peneliti jangan takut membuat kode sebanyak-banyaknya.
Setelah semua informasi penting telah dilabeli atau diberi kode, maka langsung dibuatkan sub-tema. Proses teknis input informasi kode ke dalam sebuah tema sangat mudah hanya dengan copy-paste. Namun, memang membutuhkan kepekaan tersendiri dalam penentuan tema. Misalnya, dalam pengelompokan kode tentang harapan pasien pada perawat, Bella membagi dalam kelompok kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan perawat dalam melayani pasien. Untuk mempermudah penentuan sub-tema, Bella membagikan saran dari pembimbingnya untuk mengelompokkan kode dengan informasi yang disebutkan lebih dari sekali oleh para responden.
Misal jika ada informasi seorang pasien yang mengeluh, “sebaiknya perawat memberi painkiller” namun tidak didengar lagi dari pasien lainnya, maka informasi tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam sebuah sub-tema karena dianggap kurang relevan.
Berikut ini tangkapan layar tentang contoh sub-tema yang dikelompokkan oleh Bella:
Kemudian pada tahap ketiga ialah penentuan tema-tema terakhir, atau tema besar yang akan dirujuk sebagai tema dasar yang dikemukakan oleh setiap kelompok responden yang Bella teliti di awal. Proses ini dinamakan merger sub-tema ke dalam tema besar.
Bella juga memberi tips untuk membuat alat bantu dalam pembuatan kode atau label, yakni tabel yang menghubungkan pertanyaan penelitian dengan tema-tema yang dibuat dalam software NVivo. Tabel ini penting karena secara implisit informasi yang diklasifikasikan harus mampu menjawab pertanyaan utama dalam penelitian.
Tabel alat bantunya ia contohkan seperti tangkapan layar di bawah ini:
Dalam diskusi selanjutnya, para peserta aktif bertanya pada Bella. Seorang peserta bertanya, “Bagaimana cara agar dapat memahami logika coding yang baik dan mudah dimengerti?”
Dengan bahasa yang santai, Bella menganalogikan bahwa mengoperasikan NVivo ini ialah seperti proses mencari nenek moyang dengan mengurutkan silsilah kekerabatan dimulai dari cucu-cucunya, kemudian mencari orang tuanya, lalu mencari kakek nenek dan leluhurnya.
Dengan memahami analogi ini, Bella menerangkan bahwa pendekatan apapun bisa menggunakan NVivo termasuk fenomenologi.
Seorang peserta, Ririn Wulandari bertanya tentang kebiasaan pembimbingan yang berbeda. Tidak semua pembimbing mengizinkan mahasiswa untuk langsung memasukkan informasi wawancara ke NVivo. Sebaliknya, ia diharapkan untuk melakukan pengetikan secara manual. Secara substansi, peserta diskusi juga kesulitan mengelompokkan tema yang sedikit mirip namun harus dibedakan. Masalah tersebut merupakan dilema tersendiri dalam mengoperasionalkan NVivo. Permasalahan ini ditanggapi Bella dengan usul agar mengerjakan yang termudah lebih dahulu dan berpedoman pada nama kode yang paling kontributif terhadap penelitian.
Diskusi berlangsung lebih dari waktu yang ditetapkan yakni satu jam menjadi satu setengah jam. Ibnu sebagai moderator juga sangat antusias memfasilitasi interaksi antar peserta. Harapan peserta di akhir acara ialah agar sesi selanjutnya dapat dijalankan secara rutin. Anggota Kelompok Belajar NVivo dapat membicarakan hal-hal teknis dan menjadikan grup WhatsApp sebagai sebuah klinik konsultasi yang dapat diandalkan.
Pemateri diskusi Klaster NVivo kali ini adalah Isabella Purba, PhD Candidate in School of Medicine, Dentistry and Nursing, University of Glasgow.
*) Artikel ini merupakan aset pengetahuan organisasi dengan nomor registrasi DOCTRINE UK Artikel No. 2022-09-2-CL.