PRESS RELEASE
PRESS RELEASE DOCTRINE UK NO: 09.002/DOC-UK/III/2025
LONDON—Asosiasi Mahasiswa Doktoral Indonesia di Inggris Raya atau Doctrine UK menyoroti lima poin penting terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan pada 20 Maret 2025. Kelima poin tersebut mencerminkan respons dan posisi Doctrine UK terhadap karut-marut polemik UU TNI yang memicu tagar #TolakRevisiUUTNI di media sosial serta berbagai unjuk rasa.
Isu ini kian krusial di tengah polemik menurunnya kepercayaan publik terhadap Pemerintah Republik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
Terkait hal tersebut, Doctrine UK menyoroti sejumlah poin penting yang perlu diperhatikan oleh para pihak yang berwenang dalam revisi UU TNI. Semua terangkum dalam gelaran Rembuk Anggota Doctrine UK bertajuk “Doctrine UK #TolakRevisiUUTNI !?,” yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025.
Rembuk ini dimoderatori oleh Wakil Ketua Doctrine UK Bidang Knowledge Management Deden H.A. Alfathimy (University of Leicester) dan mengundang seluruh Anggota Doctrine UK baik secara langsung melalui aplikasi Zoom maupun tidak langsung melalui pesan WhatsApp. Diskusi dalam rembuk ini diikuti oleh, antara lain, Anggi Novianti (London School of Economics and Political Science), Ariyo Irhamna (University of East Anglia), Cisya D. Nugraha (Coventry University), Farhan Anshary (Newcastle University), Felippa Amanta (University of Oxford), Filipus G. Wicaksono (University of Surrey), Laily M.S. Harti (University College London), Madiareni Sulaiman (University College London), Muhammad Fariz (University of Leeds), Rizka O.A. Jariah (University of Leicester), Sofiarti D. Angguina (University College London), dan Sofie Syarief (Goldsmiths, University of London).
Diskusi terlaksana hingga penulisan press release dengan menghimpun juga kontribusi dari Nabiyla R. Izzati (Queen Mary, University of London), Benediktus Y. Arman (University of Oxford), Jati S. Sekargati (Glasgow Caledonian University), Ardhanareswari Handoko (University of Glasgow), Obrina C. Briliyant (Cardiff University), Achmad M. Amin (King’s College London), Munawir B. Pratama (University of Edinburgh), Kalihputro Fachriansyah (University College London), Yusuf Al Arif (Lancaster University), Deva K. Kadarani (University of Manchester), Anindyajati (University College London), Rakhmat A. Wibowo (University of Edinburgh), dan Thareq Barasabha (University of Oxford).
Sebelum merumuskan posisi bersama, para partisipan mengeksplorasi jawaban atas dua pertanyaan: “Mengapa Doctrine UK harus #TolakRevisiUUTNI?” dan “Mengapa Doctrine UK jangan #TolakRevisiUUTNI?”. Eksplorasi berimbang ini bertujuan untuk membedah pro-kontra yang ada seutuh mungkin.
Menurut para peserta diskusi, #TolakRevisiUUTNI dapat dibenarkan karena:
1. Revisi UU TNI yang diketahui publik mengandung norma-norma baru yang bermasalah.
Revisi yang dilakukan tidak menyasar akar masalah yang dihadapi oleh TNI seperti tidak terpenuhinya alat utama sistem senjata yang dibutuhkan (Minimum Essential Force), pola pembinaan personil, maupun kesejahteraan prajurit terutama di pelosok. Revisi malah semakin menjustifikasi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan di lapangan seperti tindakan represif terhadap rakyat serta pengisian jabatan-jabatan sipil oleh prajurit aktif yang cakupannya bisa meluas akibat adanya peluang disahkannya pasal karet yang terkait. Indikasi-indikasi normatif ini dapat mengganggu supremasi sipil yang merupakan syarat wajib berjalannya demokrasi di Indonesia.
2. Revisi UU TNI kali ini memiliki cacat formil yang semakin menjadi tren dalam proses legislasi di Indonesia.
Revisi UU TNI yang berjalan saat ini kembali memperagakan ketergesa-gesaan, ketidakterbukaan, dan ketiadaan partisipasi publik yang bermakna dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang telah berkali-kali ditunjukkan dalam banyak kasus sebelumnya seperti UU Cipta Kerja. Proses penyusunan revisi UU TNI yang tidak transparan semakin mencederai kepercayaan masyarakat terhadap DPR sebagai lembaga negara. Jika dibiarkan, hal ini sangat meresahkan tidak hanya dalam persoalan RUU TNI sendiri, tetapi juga karena menjadi preseden yang buruk bagi penyusunan RUU-RUU di masa yang akan datang.
3. Revisi UU TNI kali ini merupakan gejala buruk dari ketiadaan oposisi yang mengakibatkan disfungsi peran kontrol DPR terhadap Pemerintah.
Dukungan tanpa hambatan dari DPR tidak dapat menjamin proses legislasi yang mengakomodasi pandangan yang berbeda dari masyarakat. Tanpa perdebatan untuk membedah isu secara komprehensif, kualitas produk legislasinya pun akan rendah. Masyarakat sipil memiliki peran untuk mengisi kekosongan oposisi dengan menyampaikan pernyataan terbuka melalui berbagai saluran publik. Doctrine UK sebagai komunitas epistemik bagi para pelajar doktoral Indonesia di Inggris hadir dan dapat menjadi platform untuk menyalurkan aspirasi para anggotanya terkait situasi sosio-politik di Tanah Air.
4. Naskah Akademik untuk Revisi UU TNI terbaru yang dapat diakses publik dinilai tidak memenuhi kaidah akademis.
Di tengah sulitnya mendapat versi mutakhir dokumen yang dijadikan acuan Revisi UU TNI, dijadikan acuan Revisi UU TNI, Naskah Akademik yang dapat diakses oleh masyarakat tidak memenuhi kaidah akademis karena tidak berbasis bukti dan mengandung sesat pikir. Peserta diskusi tidak menemukan data yang dapat mendukung klaim-klaim yang termuat di dalamnya. Hal ini diperparah dengan ketidakruntutan antara masalah yang diangkat dengan solusi yang diajukan. Sebagai contoh, masalah kekurangan sumber daya manusia di Kementerian/Lembaga sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI padahal terdapat CPNS terbaru yang tidak kunjung diangkat menjadi PNS yang sebetulnya dapat memenuhi kekurangan tersebut.
5. Terjadi peningkatan intimidasi terhadap masyarakat sipil secara terbuka maupun tersembunyi selama Revisi UU TNI berjalan.
Di samping perdebatan yang terjadi, proses Revisi UU TNI kali ini diiringi oleh peningkatan intimidasi yang dialami oleh masyarakat sipil yang menolak. Terdapat berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan, baik dalam bentuk ancaman terhadap pers seperti yang diterima Tempo, kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat (baca Polisi), maupun serangan digital, berupa peretasan akun chat dan hilangnya akses terhadap akun media sosial (data Safenet). Kebebasan pers tidak boleh diganggu dan diintimidasi karena kinerja wartawan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Secara umum, gejala-gejala ini mengindikasikan ancaman penyempitan ruang kebebasan berpendapat seiring peningkatan peran militer di ranah sipil.
Di samping poin-poin di atas, para peserta diskusi juga mempertimbangkan fakta bahwa UU TNI sudah berumur sekitar dua puluh tahun sehingga dapat dianggap sudah tidak relevan dengan situasi hari ini. Namun, tuntutan relevansi ini tidak dapat membenarkan proses legislasi yang tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang benar dan baik. Cacat formil tidak dapat ditoleransi.
Para peserta diskusi pun sepakat bahwa TNI memang harus diperkuat, tetapi penguatan yang dilakukan harus tetap sesuai dengan fungsi yang berada di bawah naungan supremasi sipil. Penguatan yang mengganggu supremasi sipil hanya akan menambah keraguan terhadap akuntabilitas TNI. Salah satu kasusnya adalah penghadangan KPK oleh TNI dalam menindak prajurit aktif yang sedang menjabat Kepala Basarnas dengan dalih ranah pengadilan militer.
Berdasarkan poin-poin di atas, para peserta diskusi berpendapat bahwa Doctrine UK sepakat dengan #TolakRevisiUUTNI. Secara khusus, Doctrine UK mendesak Presiden Republik Indonesia untuk membatalkan Revisi UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025.
Connect, Collaborate, Contribute DoctrineUK
#doctrineuk2025
#diskusidoctrineuk
Lampiran Foto Bukti Diskusi:
